
Dari sisi hukum nasional, jika hibah tanah sudah diproses secara resmi dan memiliki sertipikat atas nama masjid, maka secara hukum statusnya sudah selesai. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah dan Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN Nomor 3 Tahun 1997, sertipikat tanah adalah bukti hak yang sah dan kuat. Jika nama pada sertipikat tercantum atas nama masjid atau yayasan yang mengelolanya, maka tanah tersebut telah resmi menjadi milik lembaga keagamaan itu.
Secara hukum negara, tanah yang sudah dihibahkan dan disertifikatkan atas nama masjid tidak bisa diambil kembali atau diklaim oleh pihak pribadi mana pun. Statusnya telah berpindah dan menjadi hak masjid untuk selamanya, selama digunakan sesuai fungsinya.
Walaubagaimanapun, dalam konteks tertentu kadang ada situasi di mana pemberi hibah atau ahli warisnya merasa masih memiliki keterikatan emosional dengan tanah yang dulu mereka berikan. Hal ini bisa dimaklumi karena mereka merasa punya peran dalam berdirinya masjid tersebut. Tetapi perlu dipahami bahwa dalam Islam, menjaga keikhlasan adalah bagian penting dari ibadah. Jika pemberian itu selalu diingat dengan rasa menyesal, kecewa, atau diiringi keinginan untuk ikut campur dalam pengelolaan masjid, maka nilai ibadahnya bisa berkurang.
Amal yang paling utama adalah amal yang dilakukan dengan hati yang tulus, tanpa berharap imbalan atau kedudukan tertentu. Allah berfirman dalam Surah Al-Insan ayat 9, “Sesungguhnya kami memberi makan kepadamu hanyalah untuk mengharap ridha Allah; kami tidak menghendaki balasan darimu dan tidak pula ucapan terima kasih.” Ayat ini mengajarkan bahwa amal yang tulus adalah amal yang hanya berharap pahala dari Allah.




